KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Segala puji bagi allah, karena dengan limpahan beliaulah sehingga saya dapat menyelesai tugas PERBANDINGAN PENDIDIKAN dengan baik.
Tak lupa Shalawat beserta salam tak lupa pula saya limpahkan kepada junjungan alam yakni Nabi Muhammad SAW, karena berkat beliau lah kita dijauh kan dari jaman kegelapan menuju jalan yang benerang seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyelesai kan makalah ini untuk itu saya mengharabkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun untuk memperbaiki makalah untuk kedepan nya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, untuk itu saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Penulis
Muara tebo, , 10, 2012
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR1
DAFTAR ISI2
BAB I PENDAHULUAN
TUJUAN3
RUMUSAN MASALAH4
BAB II PEMBAHASAN
MANUSIA DALAM PESPEKTIF ISLAM5
Manusia dan misi6
Misi utama7
Misi fungsional8
Misi operasional9
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM10
Esensi pendidikan11
Tujuan pendidikan12
Metode pendidikan13
BAB III PENUTUP
Kesimpulan14
Saran15
DAFTAR PUSTAKA 16
BAB I
PENDAHULUAN
TUJUAN
Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas perbandingan pendidikan
RUMUSAN MASALAH
Mengetahui arti manusia dalam perspektif islam ?
Mengetahui arti pendidikan dalam perspektif islam ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujzak.Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).
Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya, seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.
Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam beriman dan dusta dalam beragama.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).
Manusia dan Misi
Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional; dan misi operasional.
Misi Utama
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan, dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka) yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)
Sabiqun bil khairat
Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif. Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan, dan kepasrahan kepada Allah SWT.
Muqtashidun
Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya, tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang dimakruhkan.
Dzalimun linafsihi
Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada dua kekuatan yang
mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali al-Mawardy)
Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah ‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah ‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’, al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60, al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua mengakibatkan lupa akan akhirat.”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.
Sebagian ahli hikmah yang lain berkata, “Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)
Misi Fungsional
Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah ‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah) Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah, maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.
Misi Operasional
Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi (ar-Ruum: 41)
Pendidikan Dalam Perspektif Islam
Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Bahkan Islam adalah agama yang memperhatikan masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan porsi yang sangat besar. Bahkan keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah merupakan materi pendidikan dan ilmu pengetahuan yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain maupun ideologi-ideologi lain. Sejarah mencatata bahwa bangsa Arab yang buta huruf, dengan pendidikan Islam yang khas, yang diterapkan oleh Rasulullah saw., telah berubah menjadi bangsa pelopor yang telah mampu menerangi dunia dan menjadi guru bagi dunia.
Dalam pergerakan kultural yang dilakukan oleh para Ulama, guru-guru pengajar Al Quran dan As Sunnah, serta hukum-hukum Syariah Islam, yang dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih satu abad, hampir 2/3 dunia lama telah mengenyam Islam sebagai agama, budaya, dan hukum, dan khasanah pengetahuan yang baru: tsaqafah Islamiyah. Berbagai bangsa yang beragam agama, adat-istiadat, dan sistem hukum dan perundangannya, menjadi satu umat, satu bahasa, satu hukum, dan satu negara: Islam. Peradaban Islam pun dikatakan sebagai jembatan peradaban yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan warisan Yunani sehingga dapat sampai kepada masa pencarahan bangsa-bangsa Eropa sehingga menjadikan perkembangan yang luar biasa seperti sekarang. Apa esensi pendidikan Islam, apa tujuannya, dan apa metodenya? Tulisan ini mencoba menguraikannya.
Esensi Pendidikan
Pendidikan adalah proses transfer nilai, pandangan hidup yang paling mendasar (aqidah), pemahaman-pemahaman hidup, dan berbagai pengetahuan yang menambah kesadaran peserta didik akan pandangan dan pemahamannya akan kehidupan (mafahim anil hayah) sehingga dia mampu mengambil jalan hidup yang benar, serta menambah kesadarannya tentang berbagai pemahamannya tentang benda-benda dan sarana-sarana hidup (mafahim anil asya) sehingga dia dapat meniti kehidupannya dengan benar.
Dengan demikian dalam perspektif Islam, pendidikan adalah transfer nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah, pandangan hidup Islam atau aqidah Islamiyah (keimanan), dan berbagai pengetahuan Islam (al ma’arif al Islamiyah) seperti tafsir, ulumul Qur’an, riwayat-riwayat hadits-hadits Nabi saw., ulumul hadits, fiqh, ushul fiqh, bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu shorof, siroh Nabi saw, dan lain-lain yang mempertebal pemahman para peserta didik sehingga tidak ada ide Islam yang lolos dari format pikirannya yang diharapkan juga menjadi pengendali tingkah lakunya. Selain itu, perlu berbagai ilmu pengetahuan dan serta ketrampilan teknologi untuk menambah kemampuan para lulusannya menjalani hidup dengan tetap berpegang kepada aqidah dan pemahaman hidupnya (mafahim anil hayah).
Diharapkan dengan proses pendidikan Islam, para peserta didik dapat ditingkatkan optimalisasi akal budinya sehingga mereka dapat mensyukuri nikmat Allah berupa pancaindera serta kalbu yang dimilikinya (lihat QS. An Nahl 78) dan tidak terjatuh ke dalam derajat yang lebih rendah dari binatang ternak. Allah SWT memperingatkan kita dengan firman-Nya:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al A’raf 179).
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam adalah membekali akal dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik itu mengenai aqidah dan cabang-cabangnya maupun hukum-hukum, baik yang pokok maupun yang cabang. Islam telah mendorong agar manusia menuntut ilmu dan membekalinya dengan pengetahuan. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(QS. Az Zumar 9).
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan perbedaan kedudukan antara orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan orang-orang yang bodoh. Antara ilmu dan kebodohan itu masing-masing memiliki martabat dan kedudukan di mata masyarakat. Tentu saja orang yang berilmu pengetahuan menduduki tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang tak berilmu pengetahuan. Lebih-lebih bilamana orang yang berilmu pengetahua tadi juga beriman dan beramal shalih! Allah SWT menegaskan bahwa Dia SWT memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Dia SWT berfirman:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. AL Mujadilah 11).
Rasulullah saw. mengabarkan betapa tingginya kedudukan orang-orang yang berilmu (ulama) yang mendapatkan kehormatan untuk memberikan syafaat bagi umat pada hari kiamat dengan idzin Allah. Beliau saw. bersabda:
“Ada tiga golongan yang akan meberikan syafaat (pertolongan di padang mahsyar) pada hari kiamat: (1) para Nabi; (2) para ulama; dan para syuhada.” (HR. Ibnu Majah dari Utsman bin Affan, lihat Fathul Kabir Jilid III hal 424).
Jelas dalam hadits di atas ulama diletakkan pada nomor urut kedua, yakni setelah para Nabi, lebih dulu daripada para syuhada, dalam hal memberikan syafaat dengan izin Allah SWT.
Dalam hadits yang lain Rasululla saw. menerangkan bahwa orang yang bergiat mencari ilmu akan mendapat fasilitas jalan ke sorga. Beliau saw. bersabda:
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan jalannya mencapai surga”.
Dan orang-orang yang melalaikan dirinya dari pendidikan Islam mendapat ancaman dari Allah SWT. Al Quran mengancam orang-orang yang telah memeluk Islam tapi tidak memahami islam dan Al Quran. Allah SWT mencap mereka dengan lafazh jahiliyah. Dia SWT befirman:
“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. (QS. Ali Imran 154).
Dan dengan bekal ilmu-ilmu Islam yang dimiliki secara sempurna, seorang muslim atau masyarakat muslim akan steril dari ide-ide maupun hukum-hukum kufur. Mereka yang yakin kepada Islam pastilah memandang Islam lebih tinggi dari yang lain dan hukum Islam lebih baik daripada hukum jahiliyah (lihat QS. Al Maidah 50). Dengan pandangan ini mereka hanya meresa qana’ah bila hukum yang mengatur interaksi di dalam kehidupan masyarakat adalah hukum syariah Islam, dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak silau oleh kemajuan sains dan teknologi Barat. Mereka memandang sains dan teknologi bersifat universal, bisa digali dan dimiliki oleh siapapun, bangsa manapun, dan penganut agama atau ideologi apapun. Mengadopsi sains dan teknologi Barat bukan berarti juga harus mengadopsi pemikiran, etika, hukum, ekonomi, dan budaya barat yang terkategori jahiliyah dalam pandangan Islam. Sains dan teknologi adalah alat dan kemudahan untuk dapat benar-benar menjalani hidup, sedangkan peradaban dan budaya serta syariah Islam adalah satu-satunya jalan hidup yang benar yang harus ditempuh oleh siapapun yang ingin selamat, baik dengan sains dan teknologi maupun tidak.
Metode Pendidikan
Untuk mencapai tujuan pendidikan di atas dan mendapat esensi pendidikan tersebut, maka metode yang dipakai adalah bukan sekedar transfer pengetahuan, tapi haruslah pembentukan dan pembinaan kepribadian. Dalam hal ini, kepribadian bukanlah sekedar pembentukan etika moral, tapi lebih luas dari itu.
Secara esensial, kepribadian (syakhshiyyah) adalah tersusun dari pola berfikir (aqliyah) dan pola pengendalian diri/jiwa (nafsiyyah). Untuk membentuk kepribadian, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menanamkan aqidah sebagai ide dasar (fikroh asasiyah). Inilah batas dimana orang tergolong mukmin ataukah kafir. Jika aqidah telah terbentuk melalui pendidikan, yakni melalui sentuhan-sentuhan akal maupun perasaan, baik dengan menggunakan ayat-ayat Al Quran yang menghubungkan keimanan dengan realitas diri manusia dan alam sekitarnya, maupun dengan uraian-uraian relitas yang dihubungkan dengan keimanan. Pada tahap ini pembentukan kepribadian baru taraf fondasi.
Selanjutnya aqidah Islamiyah yang dimiliki ditekadkan untuk senantiasa menjadi dasar berfikir dan memahami kehidupan. (Aqliyah Islamiyah). Sebagai contoh, ketika di masa Nabi putra beliau meninggal bersamaan dengan gerhana, lalu orang-orang menghubungkan bahwa kejadian gerhana itu lantaran matinya Ibrahim. Nabi saw. membantah hal itu dengan sabdanya: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana lantaran hidup dan matinya seseorang. Jika terjadi gerhana, maka sholatlah sampai hilang gerhana itu”.
Aqidah Islamiyah juga mesti ditekadkan untuk dipakai mengikat kehendak dan keinginan untuk berbuat, sehingga perbuatan seseorang yang dilakukan terikat dengan pemahaman hidup yang bersumber dari aqidah itu. Artinya, seorang yang telah tertanam dalam jiwanya bahwa riba adalah perkara yang diharamkan Allah (lihat QS. Al Baqarah 275-279), dia akan menolak bermuamalah riba sekalipun mendapatkan iming-iming bunga (interest/riba) dan berbagai fasilitas yang menggiurkan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya, diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya. Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini.
Semakin kuat aqidah seseorang, semakin banyak pengetahuan Islam yang dia jadikan pemahaman hidupnya (mafahim anil hayah), perbuatannya semakin terjaga dan kedudukannya semakin mulia. Sekalipun demikian, pendidikan berlangsung seumur hidup, sebab gangguan dan godaan banyak sekali untuk menghancurkan hasil pendidikan kita yang terus-menerus itu. Orang yang hafal Al Quran terkadang lupa bahwa ada hukum-hukum yang membatasi tingkah lupa. Orang yang ingat akan ayat hukum yang membatasi tingkah lakunya terkadang tergoda oleh bujuk rayuan syetan, atau tak kuasa menolak gejolak nafsunya. Oleh karena itu, disamping pendidikan untuk individu, tidak boleh dilupakan pendidikan untuk masyarakat, agar hasil-hasil pendidikan kita terjaga oleh masyarakat yang senantiasa menjaga pemikiran, perasaan, dan peraturan Islam. Dan perpaduan itu semua akan memunculkan sifat taqwa dalam diri seseorang.
SARAN
Apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini, saya mohon maaf dan makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas, semoga makalah ini berguna bagi kita semua.
Maka dari itu saya mohon untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi saya dan saya ucap kan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Peneliti, Drs. Mustain, Drs. Ridwan.
Published 2004 by Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mataram in [Mataram] .
Written in Indonesian.
March 11, 2007 at 10:29 pm (Aqidah)
Sumber : http://www.fathurin-zen.com
Assalamualaikum wr. wb
Segala puji bagi allah, karena dengan limpahan beliaulah sehingga saya dapat menyelesai tugas PERBANDINGAN PENDIDIKAN dengan baik.
Tak lupa Shalawat beserta salam tak lupa pula saya limpahkan kepada junjungan alam yakni Nabi Muhammad SAW, karena berkat beliau lah kita dijauh kan dari jaman kegelapan menuju jalan yang benerang seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyelesai kan makalah ini untuk itu saya mengharabkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun untuk memperbaiki makalah untuk kedepan nya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, untuk itu saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Penulis
Muara tebo, , 10, 2012
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR1
DAFTAR ISI2
BAB I PENDAHULUAN
TUJUAN3
RUMUSAN MASALAH4
BAB II PEMBAHASAN
MANUSIA DALAM PESPEKTIF ISLAM5
Manusia dan misi6
Misi utama7
Misi fungsional8
Misi operasional9
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM10
Esensi pendidikan11
Tujuan pendidikan12
Metode pendidikan13
BAB III PENUTUP
Kesimpulan14
Saran15
DAFTAR PUSTAKA 16
BAB I
PENDAHULUAN
TUJUAN
Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas perbandingan pendidikan
RUMUSAN MASALAH
Mengetahui arti manusia dalam perspektif islam ?
Mengetahui arti pendidikan dalam perspektif islam ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujzak.Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab: 72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur dan taqwa (asy-Syams: 8).
Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya, seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.
Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam beriman dan dusta dalam beragama.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).
Manusia dan Misi
Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional; dan misi operasional.
Misi Utama
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan, dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka) yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)
Sabiqun bil khairat
Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif. Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan, dan kepasrahan kepada Allah SWT.
Muqtashidun
Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya, tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang dimakruhkan.
Dzalimun linafsihi
Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada dua kekuatan yang
mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali al-Mawardy)
Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah ‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah ‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’, al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60, al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua mengakibatkan lupa akan akhirat.”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.
Sebagian ahli hikmah yang lain berkata, “Hawa nafsu adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)
Misi Fungsional
Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah ‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah) Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah, maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.
Misi Operasional
Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi (ar-Ruum: 41)
Pendidikan Dalam Perspektif Islam
Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Bahkan Islam adalah agama yang memperhatikan masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan porsi yang sangat besar. Bahkan keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah merupakan materi pendidikan dan ilmu pengetahuan yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain maupun ideologi-ideologi lain. Sejarah mencatata bahwa bangsa Arab yang buta huruf, dengan pendidikan Islam yang khas, yang diterapkan oleh Rasulullah saw., telah berubah menjadi bangsa pelopor yang telah mampu menerangi dunia dan menjadi guru bagi dunia.
Dalam pergerakan kultural yang dilakukan oleh para Ulama, guru-guru pengajar Al Quran dan As Sunnah, serta hukum-hukum Syariah Islam, yang dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih satu abad, hampir 2/3 dunia lama telah mengenyam Islam sebagai agama, budaya, dan hukum, dan khasanah pengetahuan yang baru: tsaqafah Islamiyah. Berbagai bangsa yang beragam agama, adat-istiadat, dan sistem hukum dan perundangannya, menjadi satu umat, satu bahasa, satu hukum, dan satu negara: Islam. Peradaban Islam pun dikatakan sebagai jembatan peradaban yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan warisan Yunani sehingga dapat sampai kepada masa pencarahan bangsa-bangsa Eropa sehingga menjadikan perkembangan yang luar biasa seperti sekarang. Apa esensi pendidikan Islam, apa tujuannya, dan apa metodenya? Tulisan ini mencoba menguraikannya.
Esensi Pendidikan
Pendidikan adalah proses transfer nilai, pandangan hidup yang paling mendasar (aqidah), pemahaman-pemahaman hidup, dan berbagai pengetahuan yang menambah kesadaran peserta didik akan pandangan dan pemahamannya akan kehidupan (mafahim anil hayah) sehingga dia mampu mengambil jalan hidup yang benar, serta menambah kesadarannya tentang berbagai pemahamannya tentang benda-benda dan sarana-sarana hidup (mafahim anil asya) sehingga dia dapat meniti kehidupannya dengan benar.
Dengan demikian dalam perspektif Islam, pendidikan adalah transfer nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah, pandangan hidup Islam atau aqidah Islamiyah (keimanan), dan berbagai pengetahuan Islam (al ma’arif al Islamiyah) seperti tafsir, ulumul Qur’an, riwayat-riwayat hadits-hadits Nabi saw., ulumul hadits, fiqh, ushul fiqh, bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu shorof, siroh Nabi saw, dan lain-lain yang mempertebal pemahman para peserta didik sehingga tidak ada ide Islam yang lolos dari format pikirannya yang diharapkan juga menjadi pengendali tingkah lakunya. Selain itu, perlu berbagai ilmu pengetahuan dan serta ketrampilan teknologi untuk menambah kemampuan para lulusannya menjalani hidup dengan tetap berpegang kepada aqidah dan pemahaman hidupnya (mafahim anil hayah).
Diharapkan dengan proses pendidikan Islam, para peserta didik dapat ditingkatkan optimalisasi akal budinya sehingga mereka dapat mensyukuri nikmat Allah berupa pancaindera serta kalbu yang dimilikinya (lihat QS. An Nahl 78) dan tidak terjatuh ke dalam derajat yang lebih rendah dari binatang ternak. Allah SWT memperingatkan kita dengan firman-Nya:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al A’raf 179).
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam adalah membekali akal dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik itu mengenai aqidah dan cabang-cabangnya maupun hukum-hukum, baik yang pokok maupun yang cabang. Islam telah mendorong agar manusia menuntut ilmu dan membekalinya dengan pengetahuan. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(QS. Az Zumar 9).
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan perbedaan kedudukan antara orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan orang-orang yang bodoh. Antara ilmu dan kebodohan itu masing-masing memiliki martabat dan kedudukan di mata masyarakat. Tentu saja orang yang berilmu pengetahuan menduduki tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang tak berilmu pengetahuan. Lebih-lebih bilamana orang yang berilmu pengetahua tadi juga beriman dan beramal shalih! Allah SWT menegaskan bahwa Dia SWT memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Dia SWT berfirman:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. AL Mujadilah 11).
Rasulullah saw. mengabarkan betapa tingginya kedudukan orang-orang yang berilmu (ulama) yang mendapatkan kehormatan untuk memberikan syafaat bagi umat pada hari kiamat dengan idzin Allah. Beliau saw. bersabda:
“Ada tiga golongan yang akan meberikan syafaat (pertolongan di padang mahsyar) pada hari kiamat: (1) para Nabi; (2) para ulama; dan para syuhada.” (HR. Ibnu Majah dari Utsman bin Affan, lihat Fathul Kabir Jilid III hal 424).
Jelas dalam hadits di atas ulama diletakkan pada nomor urut kedua, yakni setelah para Nabi, lebih dulu daripada para syuhada, dalam hal memberikan syafaat dengan izin Allah SWT.
Dalam hadits yang lain Rasululla saw. menerangkan bahwa orang yang bergiat mencari ilmu akan mendapat fasilitas jalan ke sorga. Beliau saw. bersabda:
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan jalannya mencapai surga”.
Dan orang-orang yang melalaikan dirinya dari pendidikan Islam mendapat ancaman dari Allah SWT. Al Quran mengancam orang-orang yang telah memeluk Islam tapi tidak memahami islam dan Al Quran. Allah SWT mencap mereka dengan lafazh jahiliyah. Dia SWT befirman:
“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. (QS. Ali Imran 154).
Dan dengan bekal ilmu-ilmu Islam yang dimiliki secara sempurna, seorang muslim atau masyarakat muslim akan steril dari ide-ide maupun hukum-hukum kufur. Mereka yang yakin kepada Islam pastilah memandang Islam lebih tinggi dari yang lain dan hukum Islam lebih baik daripada hukum jahiliyah (lihat QS. Al Maidah 50). Dengan pandangan ini mereka hanya meresa qana’ah bila hukum yang mengatur interaksi di dalam kehidupan masyarakat adalah hukum syariah Islam, dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak silau oleh kemajuan sains dan teknologi Barat. Mereka memandang sains dan teknologi bersifat universal, bisa digali dan dimiliki oleh siapapun, bangsa manapun, dan penganut agama atau ideologi apapun. Mengadopsi sains dan teknologi Barat bukan berarti juga harus mengadopsi pemikiran, etika, hukum, ekonomi, dan budaya barat yang terkategori jahiliyah dalam pandangan Islam. Sains dan teknologi adalah alat dan kemudahan untuk dapat benar-benar menjalani hidup, sedangkan peradaban dan budaya serta syariah Islam adalah satu-satunya jalan hidup yang benar yang harus ditempuh oleh siapapun yang ingin selamat, baik dengan sains dan teknologi maupun tidak.
Metode Pendidikan
Untuk mencapai tujuan pendidikan di atas dan mendapat esensi pendidikan tersebut, maka metode yang dipakai adalah bukan sekedar transfer pengetahuan, tapi haruslah pembentukan dan pembinaan kepribadian. Dalam hal ini, kepribadian bukanlah sekedar pembentukan etika moral, tapi lebih luas dari itu.
Secara esensial, kepribadian (syakhshiyyah) adalah tersusun dari pola berfikir (aqliyah) dan pola pengendalian diri/jiwa (nafsiyyah). Untuk membentuk kepribadian, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menanamkan aqidah sebagai ide dasar (fikroh asasiyah). Inilah batas dimana orang tergolong mukmin ataukah kafir. Jika aqidah telah terbentuk melalui pendidikan, yakni melalui sentuhan-sentuhan akal maupun perasaan, baik dengan menggunakan ayat-ayat Al Quran yang menghubungkan keimanan dengan realitas diri manusia dan alam sekitarnya, maupun dengan uraian-uraian relitas yang dihubungkan dengan keimanan. Pada tahap ini pembentukan kepribadian baru taraf fondasi.
Selanjutnya aqidah Islamiyah yang dimiliki ditekadkan untuk senantiasa menjadi dasar berfikir dan memahami kehidupan. (Aqliyah Islamiyah). Sebagai contoh, ketika di masa Nabi putra beliau meninggal bersamaan dengan gerhana, lalu orang-orang menghubungkan bahwa kejadian gerhana itu lantaran matinya Ibrahim. Nabi saw. membantah hal itu dengan sabdanya: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana lantaran hidup dan matinya seseorang. Jika terjadi gerhana, maka sholatlah sampai hilang gerhana itu”.
Aqidah Islamiyah juga mesti ditekadkan untuk dipakai mengikat kehendak dan keinginan untuk berbuat, sehingga perbuatan seseorang yang dilakukan terikat dengan pemahaman hidup yang bersumber dari aqidah itu. Artinya, seorang yang telah tertanam dalam jiwanya bahwa riba adalah perkara yang diharamkan Allah (lihat QS. Al Baqarah 275-279), dia akan menolak bermuamalah riba sekalipun mendapatkan iming-iming bunga (interest/riba) dan berbagai fasilitas yang menggiurkan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya, diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya. Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini.
Semakin kuat aqidah seseorang, semakin banyak pengetahuan Islam yang dia jadikan pemahaman hidupnya (mafahim anil hayah), perbuatannya semakin terjaga dan kedudukannya semakin mulia. Sekalipun demikian, pendidikan berlangsung seumur hidup, sebab gangguan dan godaan banyak sekali untuk menghancurkan hasil pendidikan kita yang terus-menerus itu. Orang yang hafal Al Quran terkadang lupa bahwa ada hukum-hukum yang membatasi tingkah lupa. Orang yang ingat akan ayat hukum yang membatasi tingkah lakunya terkadang tergoda oleh bujuk rayuan syetan, atau tak kuasa menolak gejolak nafsunya. Oleh karena itu, disamping pendidikan untuk individu, tidak boleh dilupakan pendidikan untuk masyarakat, agar hasil-hasil pendidikan kita terjaga oleh masyarakat yang senantiasa menjaga pemikiran, perasaan, dan peraturan Islam. Dan perpaduan itu semua akan memunculkan sifat taqwa dalam diri seseorang.
SARAN
Apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini, saya mohon maaf dan makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas, semoga makalah ini berguna bagi kita semua.
Maka dari itu saya mohon untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi saya dan saya ucap kan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Peneliti, Drs. Mustain, Drs. Ridwan.
Published 2004 by Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mataram in [Mataram] .
Written in Indonesian.
March 11, 2007 at 10:29 pm (Aqidah)
Sumber : http://www.fathurin-zen.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar